Konflik Pemerintah vs Rakyat (Cebong & Kampret) dalam Pengesahan Undang-Undang Omnibus Law
Analisis Sosiologis (Ralf Dahrendorf) — oleh Muhammad Azmi
Disclaimer
“Tujuan pembuatan tulisan ini pada awalnya hanya untuk kepentingan tugas akademis. Dengan segala keterbatasan, penulis mempublikasi hasil tulisan ini untuk dibaca dan dipahami dengan perspektif penulis sebagai seorang mahasiswa yang dalam pembuatannya dibebaskan oleh aspek kebebasan akademik”
Sebuah Pengantar
Wacana pembuatan RUU Omnibus Law Cipta Kerja muncul pertama kali saat Presiden Joko Widodo melakukan pidato di pelantikannya pada bulan Oktober 2019 yang lalu. Pada dasarnya undang-undang ini sengaja dibuat guna untuk menyederhanakan beberapa peraturan yang sudah ada sebelumnya. Mengutip Black Law’s Dictionary, omnibus memiliki arti “untuk semua hal” yang mana jika diaplikasikan dalam UU Omnibus Law di Indonesia ini merupakan undang-undang yang mengatur semua hal menjadi satu kesatuan undang-undang. Problematika muncul ketika substansi dari RUU Omnibus Law ini dinilai oleh beberapa pakar merugikan buruh dan juga lingkungan. Belum lagi anggapan orang awam atas pengesahan RUU Omnibus Law ini yang telihat tergesa-gesa dalam proses pembuatannya, padahal substansi yang dibahas cukup luas. Dikarenakan banyaknya kejanggalan baik dalam proses pembuatan maupun implikasi dari substansi undang-undang tersebut, muncullah gelombang penolakan dari berbagai lapisan masyarakat seperti serikat buruh, mahasiswa, aktivis lingkungan, hingga akademisi kampus. Menariknya, jika kita sedikit melihat kebelakang, tepatnya pada masa pilpres 2019 yang lalu, terlihat bahwa masyarakat terpolarisasi dengan jelas antara “cebong” dan juga “kampret”. Uniknya, saat terjadi gelombang penolakan terhadap RUU Omnibus Law ini, segmentasi antara “cebong” dan “kampret” seakan melebur. Tidak terlihat lagi polarisasi antara kedua kubu tersebut yang mana pada waktu-waktu sebelumnya sangat jelas terlihat. Hal tersebutlah yang membuat penulis merasa tertarik untuk membahas fenomena konflik antara masyarakat melawan pemerintah ini lebih lanjut.
Rangkaian Pergerakan
Pergerakan perlawanan masyarakat terhadap pengesahan Omnibus Law ini dimulai sejak tanggal 6 Oktober 2020. Pada awalnya tanggal tersebut dipilih untuk menekan DPR agar dalam rapatnya menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law ini yang sebelumnya diagendakan untuk disahkan pada tanggal 8 Oktober 2020. Namun, DPR ternyata memajukan agenda pengesahan Omnibus Law menjadi Selasa malam tanggal 6 Oktober 2020. Hal tersebut semakin memancing kemarahan masyarakat yang menolak UU Omnibus Law. Eskalasi gelombang penolakan semakin besar di tanggal 7 dan 8 Oktober 2020. Konsentrasi aksi massa pun bergeser dari yang tadinya di gedung DPR menjadi ke Istana Negara. Massa aksi mengharapkan agar presiden Jokowi memberikan pengaruhnya guna membatalkan pengesahan undang-undang Omnibus Law ini, namun ternyata Presiden Joko Widodo dijadwalkan bertolak ke Kalimantan Tengah dengan alasan ingin memastika bahwa program food estate di Pulang Pisau benar-benar dilaksanakan (CNBC Indonesia, 2020). Terlepas dari apa rasionalitas Presiden Joko Widodo yang melakukan kunjungan disaat mengetahui akan ada massa yang berdemonstrasi di depan istana pada hari Kamis tersebut, kepergiannya itu jelas memperuncing konflik antara masyarakat dengan pemerintah sebab sebagian besar masyarakat merasa aspirasinya tidak didengarkan sama sekali, baik oleh DPR selaku lembaga legislatif negara maupun Joko Widodo selaku pemegang fungsi eksekutif di pemerintahan. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian pengantar, penulis melihat berbagai lapisan masyarakat yang melakukan penolakan terhadap Omnibus Law ini tidak lagi tersegmentasi oleh permasalahan yang terjadi sejak pilpres 2019 yang lalu, yakni segmentasi “cebong” yang merupakan sebutan pendukung Joko Widodo dan juga segmentasi “kampret” yang merupakan sebutan untuk pendukung Prabowo Subianto. Kelompok “cebong” dan “kampret” ini seakan melebur menjadi satu pada rangkaian aksi penolakan UU Omnibus Law. Semua menyatu dengan membawa kepentingan yang sama yakni menolak UU Omnibus Law.
Sebuah Teori Sosiologi oleh Ralf Dahrendorf
Untuk melihat kasus yang sudah dijelaskan di atas, penulis berusaha mencoba untuk menganalisis menggunakan teori sosiologi dari perspektif konflik milik Ralf Dahrendorf. Uniknya, meskipun penganut teori konflik, namun Dahrendorf bukanlah seorang Marxian. Dasar pemikiran konflik Dahrendorf bukanlah economic based melainkan ketimpangan yang ada pada struktur masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan kewenangan atau otoritas. Ralf Dahrendorf merupakan salah satu tokoh yang menjelaskan bahwasannya konflik terjadi sebab adanya ketimpangan otoritas antar pihak yang ada di dalam masyarakat. Adanya otoritas selalu membentuk suatu sistem sosial superordinat dan subordinat, atau dalam bahasa lain ada pihak pengatur dan pihak yang diatur. Dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara pihak yang memiliki otoritas dengan pihak subordinat, terjadilah suatu konflik sosial di tengah masyarakat.
Teori konflik memiliki beberapa proposisi dalam menjelaskan teorinya. Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi antar kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan interest antara satu sama lain. Teori ini juga melihat bahwasannya dalam masyarakat pasti terjadi ketimpangan yang mana dari ketimpangan tersebut menyebabkan terjadinya kompetisi antar masyarakat yang mana kompetisi tersebut dapat menjadi suatu konflik dalam masyarakat. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, teori ini juga menjelaskan bahwa dalam masyarakat terbagi menjadi dua bagian yang menyebabkan adanya konflik. Dua bagian tersebut disebut sebagai superordinat dan subordinat, yang mana pembagian kedua kelompok tersebut berdasarkan pada power atau otoritas yang dimiliki. Pihak yang memiliki power atau otoritas berada pada bagian superordinat sedangkan pihak yang tidak memiliki otoritas berada pada bagian subordinat. Terakhir, pihak yang memiliki otoritas atau pihak superordinat akan memiliki kans lebih dalam membentuk suatu sistem untuk mempertahankan keadaannya. Dikarenakan hal tersebutlah, apabila terjadi perbedaan kepentingan antara pemilik otoritas dengan pihak subordinat maka akan terjadi konflik sosial.
Dalam menganalisis kepentingan dalam masyarakat, Dahrendorf (dalam Tittenbrun, 2010: 120) membagi menjadi dua yakni kepentingan laten dan juga kepentingan manifest. Kepentingan laten merupakan kepentingan yang tidak disadari oleh suatu masyarakat dimana kelompok yang memiliki kepentingan laten ini termasuk ke dalam quasi grup. Apabila kepentingan laten sudah disadari oleh quasi grup, maka kepentingan tersebut berubah menjadi kepentingan manifest yang digerakkan dalam manifest group.
Analisis Konflik pada Pengesahan Omnibus Law
Dalam menganalisis kasus ini, terdapat beberapa tahap yang dilakukan. Pertama, diperlukan identifikasi pihak yang berkonflik yang mana dalam kasus ini ialah masyarakat secara umum dengan pemerintah. Langkah kedua ialah diperlukan identifikasi kepentingan kedua pihak yang berkonflik. Dilansir dari Kompas.com, dosen FISIP Universitas Diponegoro, Wijayanto, mengatakan bahwa pemerintah memiliki keinginan untuk mengesahkan RUU Omnibus Law ini sebab terdapat kepentingan yang sama di bidang ekonomi dan politik di kalangan elit oligarki. Masyarakat merasa kepentingan pemerintah tersebut tidak memikirkan nasib rakyatnya atau dalam kata lain terdapat perbedaan kepentingan antara masyarakat dan juga pemerintah. Selanjutnya, dikarenakan teori milik Dahrendorf ini berfokus pada otoritas, maka analisis kasus ini juga harus melihat otoritas atau kewenangan yang dimiliki oleh kedua pihak yang berkonflik. Terlihat jelas bahwa pihak superordinat pada kasus ini ialah pemerintah, dimana pemerintah memiliki kewenangan yang cukup besar untuk mengatur segala aspek masyarakat. Bentuk konflik yang terjadi akibat dari ketimpangan otoritas dan perbedaan kepentingan ini ialah konflik manifest dalam bentuk demonstrasi massa. Konflik manifest tersebut telah berimplikasi dalam jangka pendek terjadinya pengrusakan terhadap beberapa fasilitas umum yang ada di wilayah demonstrasi. Sampai saat artikel ini dibuat, belum ada terlihat usaha penyelesaian konflik ini dimana pihak pemerintah tetap bertahan pada pendiriannya dalam mengesahkan UU Omnibus Law, dan pihak masyarakat tetap menolak pengesahan UU Omnibus Law ini.
Jika sedikit membedah masyarakat yang berkonflik dalam fenomena ini, terdapat pergeseran bentuk kepentingan dalam internal masyarakat. Kelompok “cebong” dan “kampret” pada dasarnya memang sama-sama dirugikan dengan adanya Omnibus Law ini, namun mereka belum menyadari hal tersebut sehingga dapat dikatakan kelompok mereka adalah quasi group karena mengandung latent interest. Disaat mereka menyadari bahwa dalam kasus ini kepentingan mereka sama, yakni menolak UU Omnibus Law, maka kepentingan mereka bergeser menjadi manifest interest atau dapat disebut sebagai kelompok manifest. Saat sudah menyadari interest tersebutlah dimulai pergerakan penolakan yang menjadi sebuah fenomena manifest conflict.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah dalam pengesahan UU Omnibus Law ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara kedua pihak yang berkonflik tersebut. Selain itu, konflik manifest tersebut juga terjadi karena adanya kesadaran akan kepentingan yang sama di dalam dua kubu masyarakat yang sejak masa pilpres 2019 berkonflik, yakni kelompok “cebong” dan “kampret”. Kedua pihak tersebut menyadari latensi apabila UU Omnibus Law disahkan, keduanya merupakan pihak yang dirugikan, tidak lagi melihat apakah mereka dari pihak “cebong” ataupun “kampret”. Oleh karena itu, dengan analisis yang jelas akan siapa saja yang sedang berkonflik dan apa alasan konflik tersebut terjadi, diharapkan dapat dilakukan upaya lanjutan guna menyelesaikan konflik ini agar tidak memiliki implikasi yang berkepanjangan.
Daftar Pustaka
Ritzer, G. (2011). Sociological Theory, Eighth Edition. New York: McGraw-Hill.
Tittenbrun, J. (2010). Ralph Dahrendorf ’S Conflict Theory of. Innovative Issues and Approaches in Social Sciences, Vol. 6, №3, 6(3).
Kühne, O., Weber, F., & Berr, K. (2019). The Productive Potential and Limits of Landscape Conflicts in Light of Ralf Dahrendorf’s Conflict Theory, 10(19), 77–90. https://doi.org/10.13128/SMP-25391
Asmara, Gian Chandra. (2020). “Kunker ke Kalteng, Jokowi Masih Diam Soal Omnibus Law”. https://www.cnbcindonesia.com/news/20201008120451-4-192783/kunker-ke-kalteng-jokowi-masih-diam-soal-omnibus-law. Diakses pada 6 November 2020 pukul 11.27 WIB.
Haryanto, Alexandar. (2020). “Apa Penyebab Demo Mahasiswa dan Buruh pada 8 Oktober 2020?”. https://tirto.id/apa-penyebab-demo-mahasiswa-dan-buruh-pada-8-oktober-2020-f5Ju. Diakses pada 6 November 2020 pukul 13.48 WIB.
Dzulfaroh, A. N. (2020). “Kenapa Pemerintah dan DPR “Ngotot” Mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja?”. https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/06/190300665/kenapa-pemerintah-dan-dpr-ngotot-mengesahkan-omnibus-law-uu-cipta-kerja?page=all. Diakses pada 7 November 2020 pukul 14.01 WIB.